Mahavision, Jakarta – Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dr. Imran Bambudi memaparkan upaya peningkatan deteksi dini TBC dan perluasan layanan TBC yang berkualitas. Tujuannya untuk memberikan pengobatan yang lebih cepat pada pasien tuberkulosis sehingga meningkatkan peluang kesembuhan.
Tes tuberkulosis mirip dengan tes Covid-19, yaitu jika tes tersebut tidak terdiagnosis, tidak terdiagnosis, dan tidak dilaporkan, maka jumlahnya akan terlihat rendah, sehingga pasien TBC akan berkeliaran dan berpotensi menyebarkan infeksi.
“Sebelum epidemi ini, tes TBC hanya mencapai 40-45% dari perkiraan kasus TBC, sehingga masih banyak kasus yang tidak terdiagnosis atau tidak dilaporkan,” kata Imran.
Kementerian Kesehatan mengadopsi pendekatan bauran pemerintah-swasta (PPM). Pertama, partisipasi seluruh pusat pelayanan kesehatan (fasyankes), baik pemerintah maupun swasta, di 34 provinsi, khususnya di 19 provinsi PPM.
“Pekerjaan terkait Rumah Sakit (RS), Klinik dan Dokter Mandiri (TBM) dalam program TBC tepat sasaran,” jelas Imran dalam keterangannya, Jumat (23/2/2024) di Jakarta.
Kegiatannya meliputi advokasi dan pelatihan internal, penyediaan jaringan akses pemeriksaan laboratorium seperti rapid tes molekuler/TCM dan mikroskopis serta program dan alat OAT (anti tuberkulosis) seperti obat dalam alat (BHP). Termasuk selongsong peluru, pot dahak dan perlengkapan sanitasi lainnya.
Jadi, pemberian feedback, on the job training (OJT) dan pengecekan dan pengecekan secara berkala, kata Imran.
Kedua, keterlibatan jaringan besar rumah sakit swasta dalam program tuberkulosis. Keikutsertaan tersebut mencakup enam jaringan rumah sakit swasta terbesar di Indonesia yaitu MPKU PP Muhammadiyah, Hermina, Silom, Pertamina Bina Medica IHC, Primaya dan Mitra Kelurka dengan total 256 rumah sakit.
“Memang jaringan rumah sakit mandiri ini memiliki indikator keberhasilan antara lain tujuan untuk meningkatkan angka kejadian tuberkulosis, akses diagnosis sesuai standar TCM, akses program obat/OAT bagi pasien TBC, keberhasilan pengobatan dan penguatan tenaga kesehatan dalam pelayanan TBC,” jelas Imran. .
Kemudian memperkuat proses tes tuberkulosis di rumah sakit, mengirimkan feedback setiap triwulan, serta memantau dan mengevaluasi semester berdasarkan keberhasilannya. Pengawasan, OJT dan bimbingan teknis disediakan di jaringan rumah sakit swasta.
Ketiga, keikutsertaan jaringan rumah sakit dan klinik bersama TNI dan POLRI dalam program tuberkulosis. Jaringan tersebut terdiri dari 122 RS TNI dan 57 RS POLRI, serta 619 klinik TNI dan 598 klinik POLRI.
“Langkah-langkah penguatan peran dan peningkatan kapasitas pelayanan kesehatan TNI-POLRI dalam pemeriksaan tuberkulosis. Kami akan mengirimkan masukan dan kegiatan pemeriksaan dan evaluasi setiap triwulan untuk memantau kontribusi pelayanan kesehatan TNI dan POLRI,” lanjut Imran.
“Monitoring, OJT, bimbingan teknis di rumah sakit dan klinik juga dilakukan di bawah TNI dan POLRI.”
Cara keempat yang diikuti Imran adalah cara baru dalam mendukung program tuberkulosis di pusat pelayanan kesehatan primer (FKTP). Hibah tersebut dimaksudkan untuk memberikan insentif pasif terhadap pelayanan tuberkulosis bagi FKTP yang terlibat meliputi tahap deteksi, pengobatan tahap awal, dan pengobatan lanjutan.
Discovery dimulai dengan uji coba di 6 kota dengan angka kejadian TBC tinggi, yaitu Kota Medan, Kota Jakarta Utara, Kota Pokor, Kota Semarang, Kota Surabaya, dan Kota Denpasar. Masa uji coba mulai Juli 2023 hingga Juni 2024. dia berkata.
Kelima, lakukan pendekatan terhadap pelatihan TB. Dalam konteks ini dilakukan kegiatan pelatihan dan penyuluhan bagi tenaga kesehatan dalam program tuberkulosis di puskesmas.
“Hal ini bertujuan untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan berstandar pengobatan tuberkulosis di fasilitas pelayanan kesehatan. Akan dilaksanakan di 28 kabupaten/kota pada tahun 2023 dan diperluas menjadi 80 kabupaten/kota pada tahun 2024,” imbuh Imran.
Keenam, pemberian satuan kredit profesi (SKP) kepada tenaga kesehatan yang menangani pelayanan tuberkulosis di puskesmas. Ia berkolaborasi dengan tim profesional yang terdiri dari dokter, perawat, apoteker, dan pekerja laboratorium.
Cara ketujuh adalah melakukan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk meningkatkan kualitas layanan tuberkulosis di puskesmas lintas program dan lembaga Kementerian Kesehatan. Kaitannya meliputi: Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan memasukkan komponen tuberkulosis dalam proses akreditasi Puskesmas.
Kebijakan Pendanaan dan Penerimaan Kesehatan (Pusjak PDK) dan BPJS Kesehatan terkait dengan pendanaan tes tuberkulosis untuk faktor risiko tinggi yang terdapat di FKTP. Organisasi layanan kesehatan, misalnya Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) memantau dan memberikan umpan balik mengenai kontribusi rumah sakit dan klinik swasta terhadap program TB (deteksi dan pengendalian kasus).
Organisasi profesi yang tergabung dalam Konsorsium Organisasi Profesi Indonesia Pengendalian Tuberkulosis (KOPI TB) melakukan kegiatan yang berbeda dengan pasien dalam hal penyusunan pedoman/peraturan di tingkat nasional dan daerah.